Press enter to see results or esc to cancel.

[Konsep] Atribut Green Planning and Design

Green Planning merupakan perwujudan rencana tata ruang dan rancang kota yang berbasis lingkungan hidup. Dalam penyusunan rencana tata ruang dan rancang kota harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dilaksanakan secara terus menerus dan sinergis antara perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang. Upaya untuk membangkitkan kepedulian masyarakat dan mewujudkan keberlangsungan tata kehidupan kota, antara lain dapat dilakukan dalam bentuk perwujudan Kota Hijau (Greencity).

Perencanaan Kota Hijau (berkelanjutan) merupakan perencanaan kota yang dibangun dengan tidak mengikis atau mengorbankan aset kota-wilayah (city - region), melainkan terus menerus memupuk semua kelompok aset meliputi manusia, lingkungan terbangun sumber daya alam, lingkungan dan kualitas prasarana perkotaan. Perencanaan pengembangan Kota Hijau juga berarti merencanakan pembangunan manusia kota yang berinisiatif dan bekerjasama dalam melakukan perubahan dan gerakan bersama. Perencanaan pengembangan Kota Hijau juga memerlukan inovasi/prakarsa mendasar (dari praktek hingga nilai-nilai) dan massif dan juga harus menjaga dan memupuk aset-aset kota wilayah, seperti aset manusia dan warga yang terorganisasi, lingkungan terbangun, keunikan, dan kehidupan budaya, kreativitas dan intelektual, karunia sumber daya alam, serta lingkungan dan kualitas prasarana kota.

Perancangan kota hijau memiliki berbagai makna. Namun, terdapat makna khusus dalam konteks perencanaan kota yang komprehensif yang dapat membedakannya dari berbagai aspek proses perencanaan kota. Makna tersebut menjelaskan bahwa perancangan kota berkaitan dengan tanggapan panca indera manusia terhadap lingkungan fisik kota, seperti penampilan visual, kualitas estetika, dan karakter spasialnya. UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang sebagai undang-undang yang mengatur “blue - print” suatu kawasan, Undang-undang penataan Ruang yang baru telah memberikan suatu revitalisasi khususnya bagi perkembangan kawasan perkotaan di Indonesia dengan berbasis pada filosofi yang sangat berkaitan dengan prinsip- prinsip keberlanjutan yang mengedepankan daya dukung dan daya tampung suatu kawasan. Tidak hanya undang-undang ini mensyaratkan suatu rasio minimal Ruang Terbuka Hijau sebesar 20% untuk RTH Publik tetapi juga melibatkan peran masyarakat kota dengan besaran minimal 10% RTH Privat. Demikian pula pemukiman yang biasanya berorientasi kepada ketersediaan air permukaan seperti sungai, sebagai penyeimbang UU No. 26 tahun 2007 mendorong terwujudnya minimal 30% kawasan hutan untuk masing-masing DAS. Bahkan untuk unsur-unsur masyarakat perkotaan yang seringkali termarjinalkan Undang-Undang Penataan Ruang mendorong pemerintah kota untuk mengembangkan dokumen perancangan kota yang mengarah pada penerapan kawasan berkepadatan tinggi, mixed-used, dan berorientasi pada manusia (penyediaan jalur pedestrian, penyandang cacat, pengguna sepeda) dan menyediakan prasarana angkutan umum serta sektor informal lainnya.